Setiap agama dipastikan, malah harus memiliki basis ciri khas ( كلى خاص ) tersendiri yang tidak dimiliki oleh agama yang lain. Karena dengannya, bisa dilihat jelas ihwal eksistensinya. Dan yang terakhir ini menjadi kebanggaan tersendiri. Maka di situ sikap panatik ( ghirah) menjadi sebuah keniscayaan ( bahkan kemestian), yang logis adanya.
Misal konkretnya, dalam "ucapan selamat". Masing-masing memiliki cara tersendiri. Hanya dengan alasan demi mengusung panji toleransi, tidak otomatis begitu saja secara random boleh mencomot bentuk salam dari semua agama, sesuai dengan rangsangan selera. Dalam satu pertemuan misalnya. Ketika yang hadir mayoritas muslim, saya baca salam versi Islam, ketika yang mayoritas Hindu, saya baca versi Hindu, ketika yang mayoritas Kristen, saya baca versi Kristen, begitu seterusnya.
Sampai di sini saya setuju dengan salah satu poin keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dibacakan oleh Ketua SC yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, Kamis (30/5/2024), bahwa "pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama, bukanlah makna toleransi yang dibenarkan".
Nah, dalam konteks sebuah pertemuan, dimana semua agama hadir, redaksi salam mana yang mesti diungkapkan, apakah sesuai dengan anutan mayoritas ( Islam umpamanya), atau sesuai selera dan atau menggunakan kompromi ( طريق الجمع ), semua salam agama disatukan?
Versi saya, teori paling bijak, mesti dihadirkan " Salam Kebangsaan" . Ini pilihan yang paling elegan, yang bisa diterima semua pihak. Dan satu catatan paling penting, dengan cara seperti itu, menghindari pemahaman ritualitas ( تعبدية).
Umpamanya : Hadirn yang berbahagia, "Merdeka Salam Pancasila".
Saya pikir, ini sebuah model paling "Holistik" ( kalaupun tidak dikatakan "Holiday"). Gitu aja repot. !!!
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar