DARI PLAY OFF MENJADI "REAL OFF" ( Dasar Nasib, Kalah Lagi Kalah Lagi).
Sekali lagi saya katakan, bahwa kita terlalu terninabobokan oleh "nyanyian obsesi", sementara abai terhadap seperangkat instrumen musiknya. Efek yang terjadi adalah kekacauan nada. Dan manakala nada sudah kacau, kegagalan peran irama yang terbukti. Ujung pangkal akibat lebih jauhnya adalah " kalah lagi, kalah lagi".
Dalam bahasa Sunda ada adagium, "Nista, Maja, Utama". Artinya, kalah satu kali, tidak jadi soal, kalah untuk kedua kali, juga tidak mengapa. Tapi, untuk kali ketiga, tidak ada alasan, ( alias tidak ada maaf ), kecuali "harus menang".
Kalah di laga semifinal piala Asia, tidak jadi soal, kalah di laga perebutan juara ke-tiga juga tidak mengapa. Namun di laga "play-off", tidak ada alasan dan pilihan lain, kecuali satu kata kunci "Harus Menang". Ikhtiarnya, para pemain Timnas U-23 harus tampil di lapangan hijau layaknya "para mujtahid mutlak ", yakni secara "all out" mesti berjuang mati -matian untuk mengalahkan Timnas U-23 Guinea.
Namun, sungguh sayang dan disayangkan, apa yang terjadi pada menit ke-29 ? Bermula dari transisi cepat serangan balik Guinea dalam situasi tiga melawan dua. Witan Sulaeman yang berada di posisi belakang lalu melanggar pemain Guinea-Algassime Bah-dalam kotak terlarang. Tidak pikir panjang, wasit Letexier dari Prancis pun menunjuk titik putih. Moriba yang ditunjuk sebagai eksekutor dengan dingin mengarahkan tendangannya ke arah tengah, memperdaya kiper Indonesia Ernando Ari Sutaryadi yang bergerak ke arah kiri untuk merubah skor menjadi 1-0 untuk Guinea, hingga babak terakhir.
Lepas dari sambaran komentar miring atas keputusan wasit tersebut, persis seperti terjadi "dissenting opinion" pada keputusan MK dalam sidang sengketa Pilpres tempo hari, kita harus tetep menghormati dan menerima keputusan wasit tersebut.
Nasib kita memang belum beruntung. Lagi-lagi kita harus menyantap hidangan obsesi di atas meja prasmanan fatamorganis hampa realita. Peluang untuk berlaga di olimpiade 2024 di Paris, Prancis sebagai perhelatan akbar kompetisi olah raga sedunia ( antara bangsa-bangsa), paling bergengsi, pupus dan sirnalah sudah. Padahal telah dinanti lebih kurang selama 68 ( genam puluh delapan) tahun, sejak keikutsertaan Timnas kita pada Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.
Ini benar-benar laga "play-off", menjadi laga "Real Off" alias " benar-benar mati". Tapi bukan mati hakiki, juga mudah-mudahan bukan " Mati Suri". Ya, mati " Timun Suri" saja. Ya, bisa jadi, bahwa ternyata, perjuangan kita "belum Holistik". Halo pak Andiros, Selamat Pagi!
Wallahu A'lam bi al-Shawab.
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar