Boleh pasti, Islam adalah satu-satunya agama yang mengusung prinsip kesatuan dan persatuan. Prinsip tersebut, baik tereksekusi pada konteks tataran sosialitas, maupun religiusitas. Yang terakhir ini ( religiusitas ), tergambar dalam sentuhan simbolisasi makna filosofis yang terkemas dalam aksi ritual ( ibdah shalat, misalnya).
Untuk membangun kesatuan dan persatuan tersebut pada tingkat minimal ( harian), kita dianjurkan untuk mendirikan shalat secara berjemaah ( paling tidak) antara keluarga atau tetangga. Selanjutnya, bergeser ke posisi maksimal ( mingguan) yang jama'ahnya lintas keluarga dan tetangga, kita diwajibkan mendirikan shalat Jum'at. Seterusnya, meningkat ke level yang lebih maksimal ( tahunan) lintas kelurga dan tetangga dengan jumlah jama'ah lebih besar lagi, kita dianjurkan untuk mendirikan shalat Sunat Ied ( Fitri dan Adha).
Sementara kesatuan serta persatuan dalam kelas paling makro dan maksimal ( puncak), terkontruksi dalam ibadah haji. Ini merupakan repleksi dan manifestasi dari sebuah "Kongres Umat Islam Kelas Dunia Yang Paling Akbar". Allah melalui lisan Ibrahim -'Alaihis Salam-berfirman ( yang artinya), "Umumkan ( beritahukan) kepada seluruh manusia supaya melaksanakan ibadah haji. (Demi mendengar pengumuman tersebut), semua lapisan manusia dari berbagai penjuru dunia pada datang, baik menggunakan jasa transportasi, maupun berjalan kaki-bagi yang berjarak dekat- ( al-Haj : 27). Versi Ibn Katsir, yang merespon seruan Allah tersebut, ternyata tidak hanya dari kalangan manusia, melainkan juga dari kalangan Jin dan makhluk lain ( gunung, lembah, tanah, air, dus segala sesuatu). Mereka serentak mengatakan : لبيك اللهم لبيك ( ya Allah, siap kami laksanakan ).
. *
Totalitas prosesi ibdah haji, baik prosedur, maupun mekanismenya secara fiqh ( baca : Syar'i ) telah terkemas dalam panduan khusus, yaitu "Manasiku al-Haj" ( كتاب مناسك الحج). Untuk itu, penulis akan mencoba mengulitinya lewat lobang sinaran filosofistik ( walau sebatas mengandalkan semangat jasa ijtihadi). Namun, mudah-mudah saja ada sentimental nuktah ghirahnya.
Dalam ibadah haji, nyaris tidak ada rukun Qauli (kemestian bacaan tertentu : aturan teoritis ), semuanya adalah rukun Fi'li ( aturan praktis). Ini menyimbolkan, bahwa ibadah haji sesungguhnya menekankan kepada para pelakunya ( jama'ah haji) untuk lebih bertindak secara riil, faktual, praktis dan realistis tidak hanya bergumul dalam jargon diskursus, teoritis dan konsep semata, yang kadang kamuflase.
"Waadzdzin Finnnasi" ( واذن فى الناس), tidak " "Waadzdzin Filmuslimin, atau Filmu'minin " ( واذن فى الناس أو فى المؤمنين). Dengan pemakaian atribut tersebut ("فى الناس"), secara "Filosofis", bisa jadi, skala prioritas yang disentuh dan diketuk olehnya adalah dimensi kesadaran kemanusiaan kita ( khususnya para jama'ah haji). Sejauh mana ketajaman nyali mereka untuk membaca realitas dunia yang kini sedang tertuju pandangan nelangsanya terhadap nasib mereka yang terzalimi ( bangsa Palestina, konkretnya).
Apakah tidak lebih baik, ibadah haji sebagai simbolisasi "Kongres Umat Islam Terbesar di Dunia" tersebut, dijadikan media "solusi" atau ( paling praktis) untuk penggalangan dana guna membatu saudara kita bangsa Palestina yang ditindas oleh kebiadaban dan kedzaliman Zionis Israel ( عليهم لعنة الله )? . Andai ada 3 ( tiga) juta jama'ah haji sedunia ( misalnya), lalu atas dasar dorongan Ukhuwah Islamiah di satu pihak, dan juga atas dasar aktualisasi sikap kesadaran solidaritas kemanusiaan ( واذن فى الناس) di pihak lain, dijamin akan sanggup mengumpulkan dana yang cukup banyak. Ini tentunya, sungguh sangat bermanfaat, bagi mereka (bangsa Palestina).
Dari Nu’man bin Basyir dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, lagi-lagi dalam tataran konteks aplikasinya, siapa sesungguhnya yang bisa dan sanggup menggagas, memprakarsai serta mengeksekusinya ? Pada sektor inilah tampaknya, titik letak kelemahan dan matinya nyali kita. Berbeda dengan bangsa Yahudi. Apapun cara dan peluang yang tersaji, selama menguntungkan ( bagi bangsa dan negaranya), akan mereka garap.
Salah satu cara untuk melanggengkan kezaliman dan kekuasaan lalim mereka, komunitas Zionis Yahudi amat cerdas dan piawai dalam melakukan lobi-lobi politik ( yang populer dengan sebutan "Lobi Yahud') di berbagai belahan dunia.
Amerika ( boleh dikata) adalah satu-satunya negara Adidaya di dunia, menjadi basis lobi paling utama bagi zionis Israel. Mereka berusaha mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat agar mendukung Zionisme, Israel, dan atau terhadap berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintahannya ( Israel ). Operasii lobi ini melibatkan lapisan kelompok : sekuler, religius Kristen dan Yahudi Amerika. Adapun Grup yang paling terkenal dan eksis dalam dunia lobi Israel adalah "American Israel Public Affairs Committee" (AIPAC). AIPAC dan sejumlah grup lobi Israel lainnya, dengan berbagai cara , mereka mempengaruhi kebijakan publik Amerika Serikat ( antara lain) : pada bidang pendidikan, dalam menanggapi kritikan dari luar dan dalam memberikan argumen yang mendukung Israel. Lobi Yahudi Israel cukup berhasil. Buktinya, beberapa kali Amerika memveto resolusi PBB soal Palestina dan tetap mendukung kebijkan Israel, apapun wujudnya.
Salah satu bukti terbaru atas keberhasilan Lobi Yahudi Israel, bagaimana represifnya pihak kepolisan Amerika ketika menangani para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menentang kedzaliman zionis Israel terhadap bangsa Palestina. Hanya dengan alasan, bahwa mereka yang berdemo dianggap "Antisemitisme", langsung digebuk.
Ngomong-ngomong ternyata, langkah kita ini sesungguhnya belum "Holistik". Untuk itu, kita mesti meminta tafsirnya kepada Dr. Andi Rosa.*)
Wallahu A'lam bi al-Shawab
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar