AKADEMISI BERMENTAL INTEL : KENAPA ACARA STADIUM GENERAL DIBATALKAN?
Atas dasar pertimbangan, bahwa pernyataan (pendapat)
yang diluncurkan oleh tokoh yang satu ini sangat pas dan tepat untuk dijadikan basis epistemologi dalam tulisan di bawah ini. Untuk itu, maka walau barang sekilas tampaknya menjadi kemestian tersendiri bagi saya untuk menyinggung ihwal profilnya. Siapakah dia ?
Itulah Samuel Langhorne Clemens, seorang berkebangsaan Amerika, (30 November 1835 – 21 April 1910). Panggilan akrab nama pena-nya yang popular adalah Mark Twain. Ia berprofesi sebagai pengajar, novelis dan penulis yang produktif. Dari tangan kecerdasan serta keterampilannya, kelar beberapa buku yang "best seller", di antaranya : "The Adventures of Huckleberry Finn", "The Prince and the Pauper" dan "A Connecticut Yankee in King Arthur's Court", (https://en.wikipedia.org/wiki/Historicrecurrence).
Apa juntrung pernyataan ( pendapat) yang ia ( Mark ) luncurkan itu? Yakni, yang berkait dengan sejarah, bahwa versinya, sejarah itu adalah "sebuah pengulangan" ( Historic recurrence). Lebih jauhnya, ia mengatakan :
"A favorite theory of mine is that no occurrence is sole and solitary, but is merely a repetition of a thing which has happened before, and perhaps often".
"Teori favorit saya adalah bahwa tidak ada kejadian yang terjadi secara tunggal dan tersendiri, namun hanyalah pengulangan dari sesuatu yang telah terjadi sebelumnya, dan mungkin sering."
Kenapa bisa dianggap sebagai hobi Mark? Bisa logis adanya, mengingat, hakikat frasa yang dibangun olehnya (Mark), titik singgung kentalnya, menukik pada subtansi biang konklusi , bahwa memang keberadaan sebuah sejarah ( apapun wujudnya) itu tidak akan terulang secara persis dan utuh sesuai dengan kontruksi awalnya. Hanya saja, sekarang sering kali ditemukan lekukan-lekukan kemiripan atau kesamaan pola yang bisa dilihat dan dirasakan seperti yang pernah terjadi pada periode silam.
Apa fakta empiriknya? Pada zaman Orde Baru ( doelou ), apapun bentuk aktivitas dan oleh siapapun ia digagas serta diaktualkan, sekiranya versi dia ( Orde Baru) iadianggap dapat merongrong dan mengganggu wibawa pemerintah, harus dihentikan. Termasuk kegiatan akademis di kampus? Ya.
Fakta empirik. Pada tahun 1987, Senat Fakultas Syari'ah IAIN "Sunan Gunung Djati" Bandung, mengadakan acara diskusi panel. Untuk panelis, kami mengundang dua tokoh akademisi yang memang saat itu sedang populer- populernya, yaitu : Gus Dur dan Jalaluddin Rakhmat ( الله يرحمهما ). Mereka sudah siap, oke hadir. Namun apa yang terjadi? Sekira jam sembilan pagi, Gus Dur tiba-tiba membatalkan. Padahal para peserta diskusi sudah banyak yang hadir, Aula pun hampir penuh. Ketika kami ( para panitia) konfirmasi ke Gu Dur, dia menjawab, " Ini urusan negara". Usut punya usut ternyata, rencana kami sudah terendus oleh pihak pemerintah ( Intel mungkin). Karena memang, tema yang kami usung untuk diskusi tersebut ( kalau tidak salah) adalah "Penterapan Maqashidu al-Syari'ah di Indonesia ( Kajian dari Aspek Fiqh Siyasah)". Padahal isinya pure kajian ilmiah, tidak menyerempet ke soal politik di negara kita. Hanya saja versi pihak sana acara tersebut, mungkin dinilai bisa mengganggu dan merongrong wibawa pemerintah. Akhirnya, acara bubar. Jalaluddin Rakhmat sempat marah-marah, "Saya sudah siap berhadapan dengan Gus Dur, kok bisa dibatalkan". Oleh pihak panitia, diberi amplop, beliau menolak, langsung pulang.
Namun apapun wujud dan realitasnya , biarlah, itu adalah catatan konsekuensi sejarah masa lalu, ( masa kekuasaan Orde Baru yang sudah dimaklumi bersama, bahwa ia otoriter adanya). Lupakanlah sudah ( let by gone be by gone).
Kembali kepada pernyataan Mark di atas, bahwa sejarah itu adalah bentuk pengulangan, (historic recurrence)
hanya saja dalam model dan modus yang berbeda ( namun memiliki kemiripan, bahkan mungkin kesamaan konteks).
Faktanya? Stadiun General yang bertema, "Sunnah Kaum Ba'lawi : Antara Otoritas, Kontribusi dan Politik", yang sedianya akan digelar pada tanggal 28 Mei di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kok dibatalkan?.
Yang mengeksekusi pembatalannya pun ( konon) bukan dari pihak penguasa, tapi oleh pemilik dapur akademis itu sendiri. Bisa jadi, ini lebih mengerikan daripada pilihan sikap Order Baru, karena hanya mengandalkan taring kekuasaan, tidak menggunakan logika akademis.
Setidaknya versi saya yang awam, bahwa tema tersebut ( "Sunah Kaun Ba'lawi : Antara Otoritas, Kontribusi dan Kritik", tampak tidak menyeramkan, dari sisi mana yang mesti dicurigai?
Kalau memang dianggap tidak cocok karena atas dasar pertimbangan khawatir ditunggangi "Neo Komunis dari kelompok kiri untuk membenturkan keturunan Arab dengan pribumi". Ya gampang, uji saja epistemologi dan aksiomatika (rumus dan jurus pendalilannya) . Masyarakat kampus adalah para insan akademis yang cerdas, masa sih kaya "kerbau dicocok hidung", ngikut begitu saja pada propaganda mereka ( kalau memang harus dikatakan demikian ).
Malah bisa jadi, justru pihak kampuslah yang akan sanggup menyadarkan mereka kalau memang terbangun oleh asumsi subyektif seperti di atas ( ditunggangi "Neo Komunis dari kelompok kiri untuk membenturkan keturunan Arab dengan pribumi).
Alasan lain bahwa, akan memunculkan potensi problem NON AKADEMIK, akibat dua kubu berseberangan, yang mesti dibatalkan adalah "potensinya", bukan acaranya. Kalau sudah berani menjust, "akan memunculkan potensi problem NON AKADEMIK...", ini bukan bahasa Akademisi namanya , tapi adalah bahasa INTEL.
والله أعلم بالصواب
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar