Dalam sebuah hadis sahih "muttafaq 'alaih" ( yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim ), Rasullah saw. mengungkapkan tentang keistimewaan hari Jum'at, bahwa pada hari tersebut ada "Sa'ah Ijabah" ( waktu do'a dikabulkan). Siapapun yang berdo'a tepat pada "Sa'ah Ijabah" tersebut berlangsung, maka segela permintaan apapun bentuknya yang diajukan kepada Allah, pasti dikabulkan oleh-Nya. Selanjutnya beliau saw. memberi isyarat dengan tangannya, bahwa waktunya sangat singkat".
Seperti halnya Lailatul Qadar di malam bulan Ramadhan, " Sa'ah Ijabah" pun keberadaan waktunya dirahasiakan. Hingga dalam hal ini para ulama ( mungkin berdasarkan pengalaman empirik masing -masing ) berbeda pendapat. Kubu pertama ( antara lain) ditokohi : Ibn al-'Arabi, al-Baihaqi, al-Qurthubi, Al-Nawawi, Ibn al-Rajab dan Ibn 'Abidin. Mereka berpendapat, bahwa ia ( Sa'ah Ijabah) tersebut terjadi, yakni bertepatan ketika khatib naik mimbar, hingga prosesi shalat Jum'at dinyatakan selesai. Sementara kubu kedua yang ditokohi : Ahmad, Ishaq, Ibn 'Abd al-Bar dan mayoritas para imam mujtahid, atas dasar Hadits Riwayat Abu Dawud, bahwa ia ( Sa'ah Ijabah) tersebut terjadi setelah shalat 'Ashar. Pendapat yang terakhir ini, juga didukung oleh al-Nasa'i (3/99)), Hakim ( al-Mustadrak : 1032 ) dan Ibn al-Rajab (.Fathu al-Bari : 5/356).
Apakah ada kaitannya antara "Sa'ah Ijabah" dengan yang wafat " di hari 'Jum'ah", bahwa dia dinyatakan memiliki pahala seperti mati "Syahid "? Secara tekstual (langsung), memang tidak kaitannya. Namun andai dibedah secara kontekstual ( tidak langsung) dijamin ada kaitannya. Apa dialektika aksiomatiknya?
Tadi dalam hadis sahih di atas ( juga dijelaskan oleh para ulama), bahwa siapapun yang berdo'a, dan apapun bentuk do'anya, baik dilakukan saat terjadi prosesi khutbah Jum'at hingga selesainya atau setelah waktu Ashar, maka ia ( do'anya) pasti diijabah (dikabulkan).
Saya yakin, dengan tulus ikhlas banyak kaum muslim, muslimat yang mendo'akan al-Marhum Bapak HMA. Tihami, ( di dua waktu tersebut), baik dari pihak keluarga, para sahabat, para mahasiswa, para dosen dan seterusnya. Sampai di sini, saya yakin, bahwa dari sebanyak pendo'a tersebut, pasti ada yang tepat pada "Sa'ah Ijabah" berlangsung. Maka tidak diragukan lagi, do'a mereka pasti dikabulkan oleh Allah. Dan andai mereka berdo'a kepada-Nya supaya beliau diampuni segala dosanya dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya, Anda mau komentar apa lagi? Kecuali : استحق عليه الجنة
Saya sendiri khususnya, berani " Isyhad", bahwa beliau ( almagfurlah) adalah "Husnul Khatimah" ( saya tidak usah mengatakan " semoga Khusnul khatimah". Kenapa bisa? Mari kita ikuti definisi "Khusnul khatimah" ( antara lain ) versi Daaru al-Ifta al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir), sebagai berikut :
يراد به توفيقُ الله سبحانه وتعالى لعبده أن يعمل خيرًا في حياته، وأن ييسر له ويوفقه للدوام على العمل الصالح قبل موته حتى يقبضه عليه، حيث لا يبقى للإنسان بعد وفاته إلا إحسانٌ قَدَّمَه في حياته يرجو ثوابه، أو عصيانٌ اجتَرَحَهُ يخشى عقابه.
"Yang dimaksud dengannya ( Husnul khatimah) adalah pemberian Taufiq dari Allah kepada hamba-Nya, hingga di akhir hayatnya dia berbuat baik. Dan sebelum dia dicabut nyawanya, juga oleh-Nya diberi kemudahan untuk selalu berbuat baik ( beramal shalih). Sehingga ketika wafat, dia tidak memiliki dosa, yang ada adalah kebaikan yang menunggu pahala dari Allah.
Saya meyakini bahwa semua kriteria di atas, dimiliki oleh beliau (HMA Tihami). Beliau sengaja dipilih oleh Allah harus wafat di hari Jum'at, sebagai hari yang mulia dan rajanya segala hari ( سيد الأيام) dan juga bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal sebagai hari kelahiran Nabi kita yang mulia Muhammad saw. Sekali lagi saya pastikan, bahwa beliau adalah " Husnul Khatimah". Kenapa Anda katakan " semoga" atau " mudah-mudahan" beliau menjadi " Khusnul khatimah", apa Anda masih ragu atau meragukan kesalihan beliau?
Untuk memperkuat keyakinan di atas, saya pungkas dengan sebuah hadis Targhib yang dikeluarkan oleh al-Hafizh Abu Nua'im dalam "حلية الأولياء", ( yang konon dia kutip) dari sahabat Jabir: رضى الله عنه , bahwa dikatakan oleh Rasul saw. :
«مَنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، أُجِيرَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَجَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ طَابَعُ الشُّهَدَاءِ»
"Barang siapa yang meninggal dunia pada hari atau malam Jum'at, maka dia diselamatkan dari siksa kubur dan dia nanti datang pada hari kiamat diberi stempel "mati syahid".
Atas dasar teks ( matan) hadits di atas, Ali al-Qari dalam kitabnya " مرقاة المفاتيح", memberi syarah (komentar) :
أن مَن مات يَوْمَ الْجُمُعَةِ له أجر شهيد، فكان على قاعدة الشهداء في عدم السؤال.. وهذا الحديث لطيفٌ صرح فيه بنَفْي الفتنة والعذاب معًا] اهـ.
"Siapa yang meninggal dunia pada hari Jum'at, dia memperoleh pahala syahid. Dia bertengger di barisan syuhada tanpa disual ( dihisab ).Hadis ini secara halus menjelaskan, bahwa tidak ada fitnah dan adzab sekaligus".
Ini adalah hadis sufistik yang transendental teologistik ( لطيف ) yang tidak perlu di seret ke ruang debetable yang berbasis rasionalistik. Yang mesti disentuh dan dipahami adalah dari dimensi semangat transendentalnya pula :
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
Wallahu A'lam bi al-Shawab.
0 comments:
Posting Komentar