ANTARA BUNG KARNO DAN TITIMANGSA NUZULUL QUR'AN
( Potret Sentuhan dari Dimensi Semangat Spiritualitas )
Mantan presiden kita yang satu ini, benar-benar multitalenta, all round, piawai dan intelektual. Betapa tidak, hanya dalam kurun waktu 14 tahun (1951-1965) dia berhasil menyabet 26 gelar "Doktor Honoris Causa" : 19 dari Universitas luar negeri dan 7 dari dalam negeri. Sungguh, spektakuler dan fenomenal, ( dikutip dari detikNews, Selasa, 21 Jun 2022 20:30 WIB).
Siapakah dia ? Itulah ( mendiang) Bung Karno . Satu hal lain, yang ini bisa jadi luput dari bidikan spesifik, bahwa Bung Karno juga memiliki daya kejut apresiatif yang luar biasa terhadap tema spiritualtas. Salah satu faktanya, dia terus terang mengakui, bahwa penemuan konsep Pancasila yang kini menjadi Dasar Negera kita yang berharga mati, bukan didapat dari hasil kinerja dialektika logika dan ikhtiar lahir semata, melainkan produk kontemplasi yang dia lakukan setiap malam Jum'at di bawah pohon Sukun di tempat pengasingannya-Ende Nusa Tenggara Timur-. Karena pohon tersebut dianggap berjasa memberi inspirasi kepadanya, hingga ia dijuluki "Pohon Pancasila". Konon ketika berkunjung ke Ende tahun 1950, Bung Karno menyempatkan diri melihat pohon inspirator tersebut. Sayang, pada tahun 1970 ia mati karena dimakan usia (Kompas.com, 1 Juni 2022, ).
Kasus berikutnya, pra eksekusi Proklamasi Kemerdekaan Negara kita ( ini ada titik kait dengan konteks peristiwa Nuzulul Qur'an).
Bertubi-tubi tekanan yang datang dari berbagai kepentingan, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Syahdan, pukul 22. 00, tanggal 7 Ramadhan Bung Karno diculik oleh sekelompok kaula muda yang digawangi Wikana dibawa ke Rangasdengklok. Maksud dan tujuannya, mereka mendesak agar Bung Karno segera "memproklamirkan kemerdekaan", ( kalau perlu, malam itu juga).
Mereka sesungguhnya tidak tahu, padahal Bung Karno dari jauh hari telah merencanakan, bahwa proklamasi kemerdekaan tersebut akan dicetuskan pada hari Jum'at, tanggal 17 Agustus 1945. Kenapa memilih hari dan tanggal tersebut? Karena, versi keyakinan spritualitasnya, bahwa tanggal 17 dan hari Jum'at, adalah hari keramat. Shalat dilakukan sehari semalam 17 rakaat dan al-Quran yang mulia juga diturunkan pada hari Jum'at tanggal 17 Ramadhan, ( Ahmad Mansur Suryanegara : Api Sejarah 2).
Dan selama proses pra eksekusi "proklamasi kemerdekaan" tersebut, Bung Karno terus melakukan kontak dan berkonsultasi dengan sejumkah ulama terkemuka. Adalah KH Hasyim Asy'ari dari Nahdhatul Ulama dan KH. Abdoel Moukti dari Muhammadiyah, merekomendasikan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan, tepat dilaksanakan pada hari dan tanggal tersebut ( hari Jum'at, 17 Agustus 1945 ) . Dan pada akhirnya bisa terlaksana.
Oleh karena itu, amat sangat pas, tepat dan proporsional ketika presiden Jokowi dalam pidato sambutannya pada acara memperingati "Nuzul al-Qur'an" di Istana Negara lima tahun yang lalu ( 1440 H./2019 M. ), dia mengatakan :
"Bung Karno mentradisikan perayaan Nuzulu al-Qur'an di Istna, ini adalah atas nasihat para ulama sebagai rasa syukur atas anugerah kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SWT. kepada kita bangsa Indonesia".
Penutup
Bung Karno, sesungguhnya adalah sosok nasionalis tulen. Maka andai dipotret dari sekat jarak antara dirinya dengan konteks marwah peristiwa Nuzulul Qur'an, sepertinya kurang konek (bukan porsinya).
Namun ketika dia menelisiknya dari pinggir dimensi semangat spiritualtas, lumrah adanya. Karena manusia dengan seabreg kelemahan dirinya, ditambah sedang eksis pada situasi berkebutuhan emosional, pasti merasa terpanggil untuk memberikan apresiasi ketika melihat sebuah celah nilai keramat yang dipertontonkan oleh Allah lewat fenomena dan ayat-Nya. Titimangsa 17 Ramadhan misalnya, sebagai tanggal dimana al-Qur'an diturunkan dijadikan referensi bagi pencetusan hari Proklamasi Kemerdekaan Negara kita. Lepas dari gaya tarik nafas mitologi atau tidak, yang jelas keseluruhan rangkaian proses kronologika "Nuzul al-Qur'an" adalah bagian integral dari serpihan nuansa dinamika kemu'jizatannya. Jadi wajar andai ia diinspiratif oleh Bung Karno.
Mungkin sebatas di disitu letak fokus sudut pandang Bung Karno. Namun bagi iklim dunia akademisi muslim ( model di kampus kita ), peristiwa "Nuzulu al-Qur'an" adalah sebuah momentum strategis ( lebih spesial lagi) untuk membedah postur "Kemerdekaan Spiritualitas Akademis" yang dihidupkan lewat semangat membaca ( إقرأ ), menulis (علم بالقلم) dan melakukan penelitian ( علم الانسان ما لم يعلم), sebagaimana terkemas dalam 5 ( lima) ayat Surat al-'Alaq ( Wahyu Pertama) yang diturunkan Allah kepada Nabi kita Muhammad saw. melalui ajudan utama-Nya Jibril-'Alaihis Salam-pada "Lailatu al-Qadr" (MALAM INAGURASI) . Beliau saw. secara resmi oleh Allah diangkat sebagai "Utusan-Nya" ( رسول الله ). Beribu, berjuta, bahkan nyaris tidak terhitung jumlahnya ( Quraisy Shihab : bumi pun menjadi sempit) para Malaikat turun dari langit ke bumi untuk menyampaikan "Ucapan Selamat" (congratulatios) kepada beliau. Maka terbitlah fajar kehidupan baru ( حتى مطلع الفجر ), sebagai wujud dinamika menuju masyarakat "Madani" yang beriman, beradab, berbudaya serta bermartabat.*)
Wallahu A'lam bi al-Shawab.
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar