Ketika sebuah kosakata, termenologi, idiom atau struktur kekataan lainnya dilingkung aneka corak makna leksikal, sesungguhnya di situ letak dimensi keunggulannya. Misal paling akrab dan konkret juntrung " guru". "Guru", atribut lain dari representasi seorang "pengajar", "pendidik" , "pembimbing" dan seabreg sebutan lainnya.
Singkatnya, andai dari semua atribut di atas diakumulasikan, maka basis esensinya berhenti pada titik konklusi, bahwa " guru" tidak lain adalah sosok distributor paling bertanggung jawab untuk menyalurkan dan mentransfer aneka nilai kepada pihak lain ( murid), supaya ia mampu berdaya guna dalam semua aspek jaringan pola hidup dan kehidupan, baik untuk dirinya, maupun untuk orang lain.
Berkait dengan deskripsi di atas, lepas dari valid atau tidaknya, namun yang jelas secara subtantif idiom di bawah ini sarat dengan muatan makna filosofis yang cukup dimensional. Konon "guru" berasal dari bahasa Sangsekerta. "Gu" artinya "kegelapan" sementara "Ru" artinya "cahaya". Dua kata yang antonim, andai dimaknai dalam satu hentakan konteks, tentu sulit untuk dipahami. Guru adalah profesi, masa berkapasitas sebagai "penerang, sekaligus juga penggelap".
Seperti halnya julukan "al-Ummi" pada Nabi Saw. yang berkonotasi, bahwa beliau orsinil "tidak memiliki kemampuan apa-apa", alias eksis pada zona pasif, kecuali menunggu komando Wahyu yang remote controlnya ada pada kendali otoritas Allah. Demikian halnya manusia pada awal mulanya, ia eksis pada zona "kegelapan". Ia sama sekali tidak tahu, hendak melangkah ke arah mana demi menemukan tata nilai hidupnya.
Dalam masa kegelapan, kevakuman dan kebingungan, maka hadir orang tua ke tiga yang bernama "Sang Guru". Ketika, ia tidak mengetahui rumus-rumus nalar untuk memecahkan persoalan, maka oleh guru otaknya dicuci dengan seperangkat Ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya, ia menjadi pintar dan cerdas. Ketika, ia tidak mengetahui dasar-dasar kebijakan apa yang mesti dijadikan kerangka konseptual dalam irama hidup dan kehidupan, maka oleh guru diajarkan kepadanya tentang adab, budi pekerti, akhlak, tasawuf dan seterusnya. Sehingga ia menjadi sopan, santun, halus dan beradab. Dan ketika ia tidak tahu dan mengetahui tentang pemberdayaan dirinya di luar konteks ilmu pengetahuan dan akhlak, maka oleh guru ia dibekali dengan berbagai keterampilan. Sehingga dia tampil menjadi pribadi yang terampil dan kreatif.
Tampaknya, penulis nyaris kehabisan budget kata untuk belanja soal harga seorang guru yang begitu luhur dan mulia. Berkait dengan hal terakhir ini, seorang penyair Arab Modern termasyhur pada zamannya, Ahmad Syauqi, saking betapa besar jasa seorang guru hingga ia olehnya diposisikan sebagai "Rasul", yakni pembawa amanat dari Allah untuk menyelamatkan akal manusia dari kegelapan ( kebodohan) supaya menjadi sosok yang cerdas dan berbudaya. Oleh karena itu, himbauan dia ( Ahmad Syauqi) kepada kita supaya memperlakukan seorang Guru dengan penuh hormat dan mulia .
قُم لِلمُعَلِّمِ وَفِّهِ التَبجيلا
كادَ المُعَلِّمُ أَن يَكونَ رَسولا
أَعَلِمتَ أَشرَفَ أَو أَجَلَّ مِنَ الَّذي
يَبني وَيُنشِئُ أَنفُساً وَعُقولا
سُبحانَكَ اللَهُمَّ خَيرَ مُعَلِّمٍ
عَلَّمتَ بِالقَلَمِ القُرونَ الأولى
أَخرَجتَ هَذا العَقلَ مِن ظُلُماتِهِ
وَهَدَيتَهُ النورَ المُبينَ سَبيلا
Namun dalam konteks sistem pendidikan nasional kita, konsepsi Guru yang sarat makna ini, hanya teredusir sekadar tenaga pengajar biasa. Sementara derajat, harkat dan martabatnya belum terangkat sepenuhnya. Kendati demikian saya secara pribadi mengucapkan :
SELAMAT HARI GURU NASIONAL YANG KE-29. Semoga Allah senantiasa memberi kesabaran, kekuatan serta ketawakalan kepada Para Guru dalam melaksanakan amanat dari-Nya demi mendidik dan mengajar anak-anak bangsa supaya menjadi pribadi-pribadi yang berdaya guna bagi agama, bangsa dan negara.
واله أعلم بالصواب.
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar