Kita kadang berderet, beriringan, bersamaan, berkelindan, berkesepahaman dan seterusnya. Kita seolah sama. Kita saling bertukar cerita, berbagi rasa, mengumbar tawa dan pamer gembira. Tegasnya , di antara kita nyaris tidak ada yang aneh, tidak ada yang asing dan tidak ada sekat pembeda.
Namun kata seorang ulama sufi yang bijak berperi, kita pada waktu tertentu akan berhadapan dengan suasana lain, yang berbeda, jauh dari realita seperti tergambar di atas. Lantas, di mana sesungguhnya letak jelas bedanya? Inilah sebuah ungkapan Syeikh Al-Hasan Bashri :
الناس سواسية فى وقت النعم ، فاذا نزل البلاء تباينوا
"Ketika komunitas manusia diberi kenikmatan, mereka tampak sama.
Namun, baru tampak berbeda ketika mereka ditimpa musibah".
Yang biasa bersama dan bergabung, eh kemana Si Fulan ? Oh, dia sedang kena musibah ( sakit ) . Pantesan, yu, kita tengok ! Ternyata, di antara kita lebih banyak sama, ketimbang beda. Maknanya, sesungguhnya kita lebih banyak menyantap nikmat daripada niqmat (cobaan). Namun, ternyata kita tetap saja bertengger di anak tangga filosofis "dunguisme" yang hit . Faktanya, kita masih tetap kreatif dan produktif meliris album kufur nikmat.*)
والله أعلم بالصواب
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar