Tuhan eksis pada dimensi yang terlepas serta terbebas dari ruang dan waktu. Untuk itu, postur eksistensi-Nya mustahil bisa diendus oleh daya bendawi seultra apapun hebatnya. Namun kendati realitasnya seperti itu, kita tetap mesti mengimani keberadaan diri-Nya secara total tanpa reserve ( بدون تحفظ ). Sebab di situ letak orsinilitas makna hakikat iman yang sesungguhnya, yakni berkeharusan meyakini ada-Nya, kendati secara fisik (physically) Dia tidak bisa dijangkau. Maka apalah makna mengimani "Tuhan" andai diekspresikan terhadap tongkrongan benda yang secara riil serta vulgar bisa langsung disentuh oleh rekayasa inderawi (seperti tuhan latta, 'Uzza dan seterusnya, yang sempat disembah oleh masyarakat Jahili "zaman baheula"). Tidak perlu dikupas lebih runcing, pastikan saja, bahwa apa yang telah mereka ( masyarakat Jahili) lakukan adalah bentuk lain dari realitas "iman omon-omon".
Sekarang, kita sudah berada di Bulan Rajab yang sangat historikal serta penuh berkah. Dengan kata lain sesungguhnya kita tengah masuk ke ruang kelas "VIP" yang mesti steril dari intrik debu kekufuran ( unbelief ). Karena kita akan menghadapi soal teologis yang cukup rumit. Apalagi kalau bukan Ujian Iman pada Mata Kuliah " ISRA'-MI'RAJ", dengan pengawas utama Maha Guru Besar Ultra Mutlak-Allah SWT.
ISRA'-MI'RAJ, adalah dua kasus istimewa yang dalam tertib untaian mata rantai sejarah serta kesejarahan para Nabi dan Rasul, hanya terjadi satu kali dan spesialnya lagi ia sengaja diberikan oleh Allah kepada Nabi dan Rasul kita Muhammad saw. "Wow sungguh amazing habis", Allahu Akbar, Subhanallah, Masya Allah !!!
Secara praktis, ISRA' maknanya adalah perjalanan beliau saw. ( safari darat ) pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem. Sementara MI'RAJ adalah meluncurnya beliau saw. (safari udara ) dari sana ( Masjidil Aqsha) menuju Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah guna memenuhi undangan dari-Nya. ISRA', boleh jadi relatif "dharury" karena bersinggungan dengan peristiwa "bumi". Sedang MI'RAJ adalah kasus "nazhari", karena berkait langsung dengan peristiwa "langit" (dimensi transendental).
Sebagai pengantar, sejenak kita "beranjangsana" dulu ke ruang galeri "Astronomi Modern", untuk mengorek ihwal kedimensionalan kuasa Allah dalam konteks peristiwa Mi'raj ini. Allah mengklaim, bahwa diri-Nya telah menciptakan 7 (tujuh) lapis langit, QS al-Mulk : 3 ). Tafsiran tujuh lapis langit tersebut, secara zakelijk ( baca : saklek) tidak diurai. Hanya saja pada ayat yang lain, Dia menyatakan, bahwa langit pertama (langit dunia-sama'u al-dun-ya) dihias dengan aneka bintang ( al-Shafat : 6).
Bulan dan Bintang termasuk material ( benda) langit. Adapun keberadaan letak titik beda dari keduanya, hanya disekat oleh garis jarak. Jarak yang paling dekat dengan bumi adalah Bulan. Oleh karenanya, menjadi sebuah keniscayaan yang logik andai tempo hari Astronot pertama Amerika Neil Amstrong dengan pesawat Apollonya sempat "sowan" ke sana. Sementara yang paling ekstrim dari bumi adalah bintang. Pertanyaannya, " seberapa jauh jarak antara keduanya?".
Sebuah temuan mutakhir dalam sejarah Astronomi Modern dengan menggunakan jasa alat yang ultra canggih, menunjukkan, bahwa konon jarak bintang dengan bumi adalah dua miliar tahun cahaya. Andai proses Mi'raj ( safari udara ) beliau saw. dimatematikan, berarti dalam kurun waktu ulang alik ( yakni ketika berangkat dan kembali), totalitas jarak tempuhnya adalah sejauh 28 ( dua puluh delapan) miliar tahun . Dengan rincian kalkulasi : berangkat sejauh 14 ( empat belas) miliar tahun ( 2 miliar tahun x 7 lapis langit) dan kembali dalam hitungan yang sama.
Atas dasar temuan para ahli Astronomi Modern di atas, maka adalah amat sangat mustahil andai beliau saw. secara fisik an sich bisa sampai ke sana. Dan berdasarkan para ahli pula, bahwa kecepatan cahaya adalah "mutlak". Konsekuensi resikonya, maka setiap benda yang larut dalam kecepatan cahaya tersebut, pasti hancur terurai menjadi energi. Pun demikian, nasib beliau saw. ( hancur terurai menjadi energi) andai Mi'raj hanya mengandalkan fisik semata. Sampai di sini, dapat dipastikan, bahwa ketika melakukan Mi'raj atas izin kuasa Allah, beliau saw. mengunakan jasa kendaraan luar ruang dan waktu.
Untuk itulah, ketika ada seseorang datang menemui Abu Bakar dengan maksud meminta pendapatnya tentang kasus MI'RAJ Rasul saw. yang demikian spektakuler itu, apa kata dia ( Abu Bakar), ?
" Lebih dari itu pun, saya percaya".
Jelas dan konkretnya, betapapun temuan para ahli Astronomi Modern dengan seabreg sokongan jasa sains dan teknologi yang super canggih, ketika dijadikan alat picu aksiomatik untuk menolak peristiwa Mi'raj beliau saw. tidak akan mempan, karena bukan level dan maqamnya ( versi Ilmu Mantiq: nisbah takhalluf). Andaipun mengandalkan jurus teori "kenisbian" seperti yang digagas Einstein, bahwa manusia dengan kendaraan hayalinya bisa "menyambangi" masa lalu ( misalnya merapat ke Singgasana Harun al-Rasyid pada masa jaya kekhalifahan Abasiah) . Maaf, tidak bisa diasumsikan atau disinggungkan dengan peristiwa Mi'raj . Mengingat, ia ( peristiwa Mi'raj) adalah murni sebagai kasus mu'jizat, bukan kasus imajiner ( seperti klaim teori nisbi-relatif di atas).
Untuk itu, menjadi terang adanya, bahwa Isra' dan Mi'raj- ( terlebih Mi'raj) adalah sebuah "Peristiwa Extraordinary" (Mu'jizat ) yang terjadi atas diri Rasul saw. dimana pesan Hikmatu al-Tayri'nya adalah untuk mengantarkan kita ke titik loncatan iman paling jauh (Sidratu Muntahal Imani-سدرة منتهى الايمان). Maka logis, dalam konteks totalitas kesejarahan iman Abu Bakar, dia baru kali itu mendapat gelar "al-Shiddiq", ketika membenarkan peristiwa klaim Rasul saw. bahwa dirinya telah melakukan Isra' dan Mi'raj. *)
اللهم اجعلنا واياكم من المصدقين ما انزلت على رسلك من المعجزات.
والله أعلم بالصواب
By-Drs. H. Saepullah S, M.Ag
0 comments:
Posting Komentar